Nisrina, 28
alamtara,,
alamtara,,
syair yang kupajang di sepi pagi
tak mampu menggelisahkan matahari
padahal doa telah bergelimang
di setiap aksaranya yang kugelar
aih, alamtara...
seperti batu yang khusuk
atau air yang mudah bergeming
mimpiku melampaui setiap pertanda
mengatasi puncak dari maha semesta
alamtara...
akulah pecinta yang sirna dilebur rahasia
musnah disulut kobar kemilau cahaya
menjadi tiada
aduh alamtara...
pada siapa lagi kutanamkan hakikat
dari rindu yang sembilu
kecuali pada kekasih yang mengajariku
untuk selalu dungu dan candu
alamtara,
aku sungguh tiada
lantaran cinta...
(ahmad subki)
Nisrina, 29
Padamu, hendak kukucurkan lagu yang lugu
Rindu yang gugur atau gelora yang hancur
sementara di matamu asmara telah terkubur
Disunyi liang api yang berkobar
mungkin aku adalh seorang pengembara
tersesat di celah cinta di tandus kalbumu
maka dahaga yang dihantarkan gersang itu
menyeret hatiku bersimpuh mengharap candu
dari oase rahasia di padang-padang di jiwamu
haruskah aku bergegas dari nikmat renggutanmu?
padahal waktu sudah sepuh diterjal hidupku
aku ingin menenggak selaksa gembira
Dari tatapanmu yang menebarkan cahaya
(Ahmad subki)
Dan Tubuh Kami Masih Saja
Dijejali Batu-batu
Di akhir sunyi yang mngendap-endap sepanjang malam
selalu saja kami gagal mengeja tubuh sendiri
hanya batu-batu resah menumpuk dalam tubuh
tak bisa jadi prasasti sebab huruf tak bisa dipahatkan
Jadilah kami musafir bisu yang mengutuki diri sendiri
gagal membaca tubuhnya di setiap malam
gagal menulis catatan-catatan di batunya sendiri
Masih juga kami bertanya :
:kalau tak mampu membaca tubuh sendiri
lantas siapa yang harus membaca tubuh kami ?
Pertanyaan itu, sis-sis yang membentur-bentur dinding-dinding langit
maka, tangis pun berulang-ulang menjadi gema di setiap tubuh
dan, tubuh kami masih saja dijejali batu-batu...
(Tjahjono Widarmanto)
Sajak kakiLangit
Rindu Sahabat
Hati yang hampa
Menulis rindu pada sehelai daun
Adakah kau menugguku
Dengan seribu lagu ragu ?
Angin berharap membelai batu
Hingga gerimis membalut malam
Lusuh tertunduk
Mengiringi sisa -sisa doa
Pada goresan di batu itu
Yang kini tertanam kokoh
Didasar laut
Membiru
Sepanjang jalan
(Dedi Permana)
Sajak cermin
Perpisahan
Sebelum senja menutup gorden perpisahan ini
izinkan ku lukis engkau dengan airmata:
Engkau membakarku
memecutku
Sebelum senja menutup gorden perpisahan ini
Diruang ini kita telah mengawali
Mari kita tutup pula tanpa duka:
Engkau telah menuntunku ke pintu surga
menemukanku disana
Menenun lagi pusaka
Diruncing waktu
Biarkan aku bersamamu
Engkau bersamaku
(Syaiful Anwar)
Nisrina, 29
Padamu, hendak kukucurkan lagu yang lugu
Rindu yang gugur atau gelora yang hancur
sementara di matamu asmara telah terkubur
Disunyi liang api yang berkobar
mungkin aku adalh seorang pengembara
tersesat di celah cinta di tandus kalbumu
maka dahaga yang dihantarkan gersang itu
menyeret hatiku bersimpuh mengharap candu
dari oase rahasia di padang-padang di jiwamu
haruskah aku bergegas dari nikmat renggutanmu?
padahal waktu sudah sepuh diterjal hidupku
aku ingin menenggak selaksa gembira
Dari tatapanmu yang menebarkan cahaya
(Ahmad subki)
Dan Tubuh Kami Masih Saja
Dijejali Batu-batu
Di akhir sunyi yang mngendap-endap sepanjang malam
selalu saja kami gagal mengeja tubuh sendiri
hanya batu-batu resah menumpuk dalam tubuh
tak bisa jadi prasasti sebab huruf tak bisa dipahatkan
Jadilah kami musafir bisu yang mengutuki diri sendiri
gagal membaca tubuhnya di setiap malam
gagal menulis catatan-catatan di batunya sendiri
Masih juga kami bertanya :
:kalau tak mampu membaca tubuh sendiri
lantas siapa yang harus membaca tubuh kami ?
Pertanyaan itu, sis-sis yang membentur-bentur dinding-dinding langit
maka, tangis pun berulang-ulang menjadi gema di setiap tubuh
dan, tubuh kami masih saja dijejali batu-batu...
(Tjahjono Widarmanto)
Sajak kakiLangit
Rindu Sahabat
Hati yang hampa
Menulis rindu pada sehelai daun
Adakah kau menugguku
Dengan seribu lagu ragu ?
Angin berharap membelai batu
Hingga gerimis membalut malam
Lusuh tertunduk
Mengiringi sisa -sisa doa
Pada goresan di batu itu
Yang kini tertanam kokoh
Didasar laut
Membiru
Sepanjang jalan
(Dedi Permana)
Sajak cermin
Perpisahan
Sebelum senja menutup gorden perpisahan ini
izinkan ku lukis engkau dengan airmata:
Engkau membakarku
memecutku
Sebelum senja menutup gorden perpisahan ini
Diruang ini kita telah mengawali
Mari kita tutup pula tanpa duka:
Engkau telah menuntunku ke pintu surga
menemukanku disana
Menenun lagi pusaka
Diruncing waktu
Biarkan aku bersamamu
Engkau bersamaku
(Syaiful Anwar)